18 Juli 2011
Salah Satu Organ Tubuh Super Canggih
Hati (bahasa Yunani:
ἡπαρ, hēpar) merupakan
kelenjar terbesar di
dalam tubuh, terletak
dalam rongga perut
sebelah kanan, tepatnya
di bawah diafragma.
Berdasarkan fungsinya,
hati juga termasuk
sebagai alat ekskresi.
Hal ini dikarenakan hati
membantu fungsi ginjal
dengan cara memecah
beberapa senyawa yang
bersifat racun dan
menghasilkan amonia,
urea, dan asam urat
dengan memanfaatkan
nitrogen dari asam
amino. Proses
pemecahan senyawa
racun oleh hati disebut
proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari
sel parenkimal dan sel
non-parenkimal.[1] Sel
parenkimal pada hati
disebut hepatosit,
menempati sekitar 80%
volume hati dan
melakukan berbagai
fungsi utama hati. 40%
sel hati terdapat pada
lobus sinusoidal.
Hepatosit merupakan sel
endodermal yang
terstimulasi oleh
jaringan mesenkimal
secara terus-menerus
pada saat embrio hingga
berkembang menjadi sel
parenkimal.[2] Selama
masa tersebut, terjadi
peningkatan transkripsi
mRNA albumin sebagai
stimulan proliferasi dan
diferensiasi sel
endodermal menjadi
hepatosit.[3]
Lumen lobus terbentuk
dari SEC dan ditempati
oleh 3 jenis sel lain,
seperti sel Kupffer, sel
Ito, limfosit intrahepatik
seperti sel pit. Sel non-
parenkimal menempati
sekitar 6,5% volume hati
dan memproduksi
berbagai substansi yang
mengendalikan banyak
fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah
satu fungsi lumen lobus
sinusoidal yang
memisahkan permukaan
hepatosit dari darah, SEC
memiliki kapasitas
endositosis yang sangat
besar dengan berbagai
ligan seperti
glikoprotein, kompleks
imun, transferin dan
seruloplasmin. SEC juga
berfungsi sebagai sel
presenter antigen yang
menyediakan ekspresi
MHC I dan MHC II bagi
sel T. Sekresi yang
terjadi meliputi berbagai
sitokina, eikosanoid
seperti prostanoid dan
leukotriena, endotelin-1,
nitrogen monoksida dan
beberapa komponen
ECM.
Sel Ito berada pada
jaringan perisinusoidal,
merupakan sel dengan
banyak vesikel lemak di
dalam sitoplasma yang
mengikat SEC sangat
kuat hingga memberikan
lapisan ganda pada
lumen lobus sinusoidal.
Saat hati berada pada
kondisi normal, sel Ito
menyimpan vitamin A
guna mengendalikan
kelenturan matriks
ekstraselular yang
dibentuk dengan SEC,
yang juga merupakan
kelenturan dari lumen
sinusoid.
Sel Kupffer berada pada
jaringan intrasinusoidal,
merupakan makrofaga
dengan kemampuan
endositik dan fagositik
yang mencengangkan.
Sel Kupffer sehari-hari
berinteraksi dengan
material yang berasal
saluran pencernaan yang
mengandung larutan
bakterial, dan mencegah
aktivasi efek toksin
senyawa tersebut ke
dalam hati. Paparan
larutan bakterial yang
tinggi, terutama paparan
LPS, membuat sel Kupffer
melakukan sekresi
berbagai sitokina yang
memicu proses
peradangan dan dapat
mengakibatkan cedera
pada hati. Sekresi antara
lain meliputi spesi
oksigen reaktif,
eikosanoid, nitrogen
monoksida, karbon
monoksida, TNF-α, IL-10,
sebagai respon
kekebalan turunan
dalam fasa infeksi
primer.
Sel pit merupakan
limfosit dengan granula
besar, seperti sel NK
yang bermukim di hati.
Sel pit dapat
menginduksi kematian
seketika pada sel tumor
tanpa bergantung pada
ekspresi antigen pada
kompleks
histokompatibilitas
utama . Aktivitas sel pit
dapat ditingkatkan
dengan stimulasi
interferon-γ.
Selain itu, pada hati
masih terdapat sel T-γδ,
sel T-αβ dan sel NKT.
Sel punca
Selain hepatosit dan sel
non-parenkimal, pada
hati masih terdapat jenis
sel lain yaitu sel intra-
hepatik yang sering
disebut sel oval,[4] dan
hepatosit duktular.[5]
Regenerasi hati setelah
hepatektomi parsial,
umumnya tidak
melibatkan sel
progenitor intra-hepatik
dan sel punca ekstra-
hepatik (hemopoietik),
dan bergantung hanya
kepada proliferasi
hepatosit. Namun dalam
kondisi saat proliferasi
hepatosit terhambat
atau tertunda, sel oval
yang berada di area
periportal akan
mengalami proliferasi
dan diferensiasi menjadi
hepatosit dewasa.[4][6]
Sel oval merupakan
bentuk diferensiasi dari
sel progenitor yang
berada pada area portal
dan periportal, atau
kanal Hering,[7] dan
hanya ditemukan saat
hati mengalami cedera.
[8] Proliferasi yang
terjadi pada sel oval
akan membentuk saluran
ekskresi yang
menghubungkan area
parenkima tempat
terjadinya kerusakan
hati dengan saluran
empedu. Epimorfin,
sebuah morfogen yang
banyak ditemukan
berperan pada banyak
organ epitelial,
nampaknya juga
berperan pada
pembentukan saluran
empedu oleh sel punca
hepatik.[9] Setelah itu
sel oval akan
terdiferensiasi menjadi
hepatosit duktular.
Hepatosit duktular
dianggap merupakan sel
transisi yang terkait
antara lain dengan:[10]
metaplasia duktular dari
hepatosit parenkimal
menjadi epitelium biliari
intra-hepatik
konversi metaplasia dari
epitelium duktular
menjadi hepatosit
parenkimal
diferensiasi dari sel
punca dari silsilah
hepatosit
tergantung pada jenis
gangguan yang
menyerang hati.
Pada model tikus dengan
70% hepatektomi, dan
induksi regenerasi
hepatik dengan
asetilaminofluorena-2,
ditemukan bahwa sel
punca yang berasal dari
sumsum tulang belakang
dapat terdiferensiasi
menjadi hepatosit,[11]
[12] dengan mediasi
hormon G-CSF sebagai
kemokina dan mitogen.
[13] Regenerasi juga
dapat dipicu dengan D-
galaktosamina.[14]
Sel imunologis
Hati juga berperan
dalam sistem kekebalan
dengan banyaknya sel
imunologis pada sistem
retikuendotelial yang
berfungsi sebagai tapis
antigen yang terbawa ke
hati melalui sistem
portal hati. Perpindahan
fasa infeksi dari fasa
primer menjadi fasa
akut, ditandai oleh hati
dengan menurunkan
sekresi albumin dan
menaikkan sekresi
fibrinogen. Fasa akut
yang berkepanjangan
akan berakibat pada
simtoma
hipoalbuminemia dan
hiperfibrinogenemia.[15]
Pada saat hati cedera,
sel darah putih akan
distimulasi untuk
bermigrasi menuju hati
dan bersama dengan sel
Kupffer men sekresi
sitokina yang membuat
modulasi perilaku sel Ito.
[16] Sel TH1
memproduksi sitokina
yang meningkatkan
respon kekebalan selular
seperti IFN-gamma, TNF,
dan IL-2. Sel TH2
sebaliknnya akan
memproduksi sitokina
yang meningkatkan
respon kekebalan
humoral seperti IL-4, IL-5,
IL-6, IL-13 dan
meningkatkan respon
fibrosis. Sitokina yang
disekresi oleh sel TH1
akan menghambat
diferensiasi sel T menjadi
sel TH2, sebaliknya
sitokina sekresi TH2 akan
menghambat proliferasi
sel T H1. Oleh sebab itu
respon kekebalan sering
dikatakan terpolarisasi
ke respon kekebalan
selular atau humoral,
namun belum pernah
keduanya.
Fungsi hati
Berbagai jenis tugas yang
dijalankan oleh hati,
dilakukan oleh hepatosit.
Hingga saat ini belum
ditemukan organ lain
atau organ buatan atau
peralatan yang mampu
menggantikan semua
fungsi hati. Beberapa
fungsi hati dapat
digantikan dengan
proses dialisis hati,
namun teknologi ini
masih terus
dikembangkan untuk
perawatan penderita
gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati
menghasilkan:
empedu yang mencapai
½ liter setiap hari.
Empedu merupakan
cairan kehijauan dan
terasa pahit, berasal dari
hemoglobin sel darah
merah yang telah tua,
yang kemudian disimpan
di dalam kantong
empedu atau diekskresi
ke duodenum. Empedu
mengandung kolesterol,
garam mineral, garam
empedu, pigmen
bilirubin, dan biliverdin.
Sekresi empedu berguna
untuk mencerna lemak,
mengaktifkan lipase,
membantu daya absorpsi
lemak di usus, dan
mengubah zat yang tidak
larut dalam air menjadi
zat yang larut dalam air.
Apabila saluran empedu
di hati tersumbat,
empedu masuk ke
peredaran darah
sehingga kulit penderita
menjadi kekuningan.
Orang yang demikian
dikatakan menderita
penyakit kuning.
sebagian besar asam
amino
faktor koagulasi I, II, V,
VII, IX, X, XI
protein C, protein S dan
anti-trombin
kalsidiol
trigliserida melalui
lintasan lipogenesis
kolesterol
insulin-like growth factor
1 (IGF-1), sebuah protein
polipeptida yang
berperan penting dalam
pertumbuhan tubuh
dalam masa kanak-kanak
dan tetap memiliki efek
anabolik pada orang
dewasa.
enzim arginase yang
mengubah arginina
menjadi ornitina dan
urea. Ornitina yang
terbentuk dapat
mengikat NH³ dan CO²
yang bersifat racun.
trombopoietin, sebuah
hormon glikoprotein
yang mengendalikan
produksi keping darah
oleh sumsum tulang
belakang.
Pada triwulan awal
pertumbuhan janin, hati
merupakan organ utama
sintesis sel darah merah,
hingga mencapai sekitar
sumsum tulang belakang
mampu mengambil alih
tugas ini.
albumin, komponen
osmolar utama pada
plasma darah.
angiotensinogen, sebuah
hormon yang berperan
untuk meningkatkan
tekanan darah ketika
diaktivasi oleh renin,
sebuah enzim yang
disekresi oleh ginjal saat
ditengarai kurangnya
tekanan darah oleh
juxtaglomerular
apparatus.
enzim glutamat-
oksaloasetat transferase,
glutamat-piruvat
transferase dan laktat
dehidrogenase
Selain melakukan proses
glikolisis dan siklus asam
sitrat seperti sel pada
umumnya, hati juga
berperan dalam
metabolisme karbohidrat
yang lain:
Glukoneogenesis, sintesis
glukosa dari beberapa
substrat asam amino,
asam laktat, asam lemak
non ester dan gliserol.
Pada manusia dan
beberapa jenis mamalia,
proses ini tidak dapat
mengkonversi gliserol
menjadi glukosa.
Lintasan dipercepat oleh
hormon insulin seiring
dengan hormon tri-
iodotironina melalui
pertambahan laju siklus
Cori.[17]
Glikogenolisis, lintasan
katabolisme glikogen
menjadi glukosa untuk
kemudian dilepaskan ke
darah sebagai respon
meningkatnya kebutuhan
energi oleh tubuh.
Hormon glukagon
merupakan stimulator
utama kedua lintasan
glikogenolisis dan
glukoneogenesis
menghindarikan tubuh
dari simtoma
hipoglisemia. Pada model
tikus, defisiensi glukagon
akan menghambat kedua
lintasan ini, namun
meningkatkan toleransi
glukosa.[18] Lintasan ini,
bersama dengan lintasan
glukoneogenesis pada
saluran pencernaan
dikendalikan oleh
kelenjar hipotalamus.[19]
Glikogenesis, lintasan
anabolisme glikogen dari
glukosa.
dan pada lintasan
katabolisme:
degradasi sel darah
merah. Hemoglobin yang
terkandung di dalamnya
dipecah menjadi zat besi,
globin, dan heme. Zat
besi dan globin didaur
ulang, sedangkan heme
dirombak menjadi
metabolit untuk
diekskresi bersama
empedu sebagai bilirubin
dan biliverdin yang
berwarna hijau kebiruan.
Di dalam usus, zat
empedu ini mengalami
oksidasi menjadi urobilin
sehingga warna feses
dan urin kekuningan.
degradasi insulin dan
beberapa hormon lain.
degradasi amonia
menjadi urea
degradasi zat toksin
dengan lintasan
detoksifikasi, seperti
metilasi.
Hati juga mencadangkan
beberapa substansi,
selain glikogen:
vitamin A (cadangan 1–2
tahun)
vitamin D (cadangan 1–4
bulan)
vitamin B12 (cadangan
1-3 tahun)
zat nesi
zat tembaga.
Regenerasi sel hati
Kemampuan hati untuk
melakukan regenerasi
merupakan suatu proses
yang sangat penting agar
hati dapat pulih dari
kerusakan yang
ditimbulkan dari proses
detoksifikasi dan
imunologis. Regenerasi
tercapai dengan
interaksi yang sangat
kompleks antara sel yang
terdapat dalam hati,
antara lain hepatosit, sel
Kupffer, sel endotelial
sinusoidal, sel Ito dan sel
punca; dengan organ
ekstra-hepatik, seperti
kelenjar tiroid, kelenjar
adrenal, pankreas,
duodenum, hipotalamus.
[20]
Hepatosit, adalah sel
yang sangat unik. Potensi
hepatosit untuk
melakukan proliferasi,
muncul pada saat-saat
terjadi kehilangan massa
sel,[21] yang disebut fasa
prima atau fasa
kompetensi replikatif[22]
yang umumnya dipicu
oleh sel Kupffer melalui
sekresi sitokina IL-6 dan
TNF-α. Pada fasa ini,
hepatosit memasuki
siklus sel dari fasa G0 ke
fasa G1.
TNF-α dapat memberikan
efek proliferatif atau
apoptotik, bergantung
pada spesi oksigen
reaktif dan glutathion,
minimal 4 faktor
transkripsi diaktivasi
sebelum hepatosit masuk
ke dalam fasa proliferasi,
yaitu NF-κB, STAT-3, AP-1
dan C/EBP-beta.[23]
Proliferasi hepatosit
diinduksi oleh stimulasi
sitokina HGF dan TGF-α,
dan EGF[23] dengan dua
lintasan. HGF, TGF-α, dan
EGF merupakan faktor
pertumbuhan yang
berasal dari substrat
serina dan protein logam
[24] yang menginduksi
sintesis DNA.[22]
Lintasan pertama adalah
lintasan IL-6/STAT-3 yang
berperan dalam siklus sel
melalui siklin D1/p21 dan
perlindungan sel dengan
peningkatan rasio FLIP,
Bcl-2, Bcl-xL, Ref1, dan
MnSOD. Lintasan kedua
adalah lintasan PI3-K/
PDK-1/Akt yang
mengendalikan ukuran
sel melalui molekul
mTOR, selain sebagai zat
anti-apoptosis dan
antioksidan.
Hormon tri-iodotironina,
selain menurunkan kadar
kolesterol pada hati,[25]
juga memiliki kapasitas
dalam proliferasi
hepatosit sebagai
mitogen yang berperan
pada siklin D1,[26]
mempercepat konsumsi
O2 oleh mitokondria
dengan mengaktivasi
transkripsi pada gen
pernafasan hingga
meningkatkan produksi
spesi oksigen reaktif.[27]
Sekresi ROS ke dalam
sitoplasma hepatosit
akan mengaktivasi
faktor transkripsi NF-κB.
[28] Pada sel Kupffer,
ROS dalam sitoplasma,
akan mengaktivasi
sekresi sitokina TNF-α,
IL-6 dan IL-1 untuk
disekresi. Ikatan yang
terjadi antara ketiga
sitokina ini dengan
hepatosit akan
menginduksi ekspresi
pencerap enzim
antioksidan, seperti
mangan superoksida
dismutase, i-nitrogen
monoksida sintase,
protein anti-apoptosis
Bcl-2, haptoglobin dan
fibrinogen-β yang
diperlukan hepatosit
dalam proliferasi.[29]
Stres oksidatif yang
dapat ditimbulkan oleh
ROS maupun kerusakan
yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai sitokina,
dapat dilenyapkan
dengan asupan tosoferol
(100 mg/kg) atau
senyawa penghambat
gadolinium klorida (10
mg/kg) seperti yang
dimiliki oleh sel Kupffer,
sebelum stimulasi
hormon tri-iodotironina,
[30] sedangkan laju
proliferasi hepatosit
dikendalikan oleh kadar
etanolamina sebagai
faktor hepatotrofik
humoral.[31]
Kemampuan hati untuk
melakukan regenerasi
telah diketahui semenjak
zaman Yunani kuno dari
cerita mitos tentang
seorang titan yang
bernama Prometheus.
[32] Kemampuan ini
dapat sirna, hingga
hepatosit tidak dapat
masuk ke dalam siklus
sel, walaupun kehilangan
sebagian massanya,
apabila terjadi fibrosis
hati. Lintasan fibrosis
yang tidak segera
mendapat perawatan,
lambat laun akan
berkembang menjadi
sirosis hati[33] dan
mengharuskan
penderitanya untuk
menjalani transplantasi
hati atau hepatektomi
demi kelangsungan
hidupnya.
Regenerasi hati setelah
hepatektomi parsial
merupakan proses yang
sangat rumit di bawah
pengaruh perubahan
hemodinamika, modulasi
sitokina, hormon faktor
pertumbuhan dan
aktivasi faktor
transkripsi, yang
mengarah pada proses
mitosis. Hormon PRL
yang disekresi oleh
kelenjar hipofisis
menginduksi respon
hepatotrofik sebagai
mitogen yang berperan
dalam proses proliferasi
dan diferensiasi.[34] PRL
memberi pengaruh
kepada peningkatan
aktivitas faktor
transkripsi yang
berperan dalam
proliferasi sel, seperti
AP-1, c-Jun dan STAT-3;
dan diferensiasi dan
terpeliharanya
metabolisme, seperti C/
EBP-alfa, HNF-1, HNF-4
dan HNF-3. c-Jun
merupakan salah satu
protein penyusun AP-1.
[35] Induksi NF-κB pada
fasa ini diperlukan untuk
mencegah apoptosis dan
memicu derap siklus sel
yang wajar.[36] Pada
masa ini, peran retinil
asetat menjadi sangat
vital, karena fungsinya
yang menambah massa
DNA dan protein yang
dikandungnya.[37]
Penyakit pada hati
Hati merupakan organ
yang menopang
kelangsungan hidup
hampir seluruh organ
lain di dalam tubuh. Oleh
karena lokasi yang
sangat strategis dan
fungsi multi-dimensional,
hati menjadi sangat
rentan terhadap
datangnya berbagai
penyakit. Hati akan
merespon berbagai
penyakit tersebut
dengan meradang, yang
disebut hepatitis
Seringkali hepatitis
dimulai dengan reaksi
radang patobiokimiawi
yang disebut fibrosis
hati,[38] dengan simtoma
paraklinis berupa
peningkatan rasio
plasma laminin, sebuah
glikoprotein yang
disekresi sel Ito, asam
hialuronat dan sejenis
aminopeptida yaitu
prokolagen tipe III,[39]
dan CEA.[40] Fibrosis hati
dapat disebabkan oleh
rendahnya rasio plasma
HGF,[41][42] atau karena
infeksi viral, seperti
hepatitis B, patogen yang
disebabkan oleh infeksi
akut sejenis virus DNA
yang memiliki fokus
infeksi berupa templat
transkripsi yang disebut
cccDNA yang termetilasi,
[43] atau hepatitis C,
patogen serupa hepatitis
B yang disebabkan oleh
infeksi virus RNA dengan
fokus infeksi berupa
metilasi DNA, terutama
melalui mekanisme
ekspresi genetik berkas
GADD45B , sehingga
mengakibatkan siklus sel
hepatosit menjadi
tersendat-sendat.[44][45]
Fibrosis hati memerlukan
penangan sedini
mungkin, seperti pada
model tikus, stimulasi
proliferasi hepatosit
akan meluruhkan fokus
infeksi virus hepatitis B,
[46] sebelum
berkembang menjadi
sirosis hati atau
karsinoma hepatoselular.
Setelah terjadi kanker
hati, senyawa
siklosporina yang
memiliki potensi untuk
memicu proliferasi
hepatosit, justru akan
mempercepat
perkembangan sel
kanker,[47] oleh karena
sel kanker mengalami
hiperplasia hepatik, yaitu
proliferasi yang tidak
disertai aktivasi faktor
transkripsi genetik. Hal
ini dapat diinduksi
dengan stimulasi timbal
nitrat (LN, 100 mikromol/
kg), siproteron asetat
(CPA, 60 mg/kg), dan
nafenopin (NAF, 200 mg/
kg).[48]
Hepatitis juga dapat
dimulai dengan defisiensi
mitokondria di dalam
hepatosit, yang disebut
steatohepatitis. Disfungsi
mitokondria akan
berdampak pada
homeostasis senyawa
lipid dan peningkatan
rasio spesi oksigen
reaktif yang menginduksi
TNF-α.[49] Hal ini akan
berlanjut pada
pengendapan lemak,
stres oksidatif dan
peroksidasi lipid,[50]
serta membuat
mitokondria menjadi
rentan terhadap
kematian oleh nekrosis
akibat rendahnya rasio
ATP dalam matrik
mitokondria, atau oleh
apoptosis melalui
pembentukan apoptosom
dan peningkatan
permeabilitas membran
mitokondria dengan
mekanisme Fas/ TNF-α.
Permintaan energi yang
tinggi pada kondisi ini
menyebabkan
mitokondria tidak dapat
memulihkan cadangan
ATP hingga dapat
memicu sirosis hati,[50]
sedangkan peroksidasi
lipid akan menyebabkan
kerusakan pada DNA
mitokondria dan
membran mitokondria
sisi dalam yang disebut
sardiolipin, dengan
peningkatan laju
oksidasi-beta asam
lemak, akan terjadi
akumulasi elektron pada
respiratory chain
kompleks I dan III yang
menurunkan kadar
antioksidan.[49]
Sel hepatosit apoptotik
akan dicerna oleh sel Ito
menjadi fibrinogen
dengan reaksi
fibrogenesis setelah
diaktivasi oleh produk
dari peroksidasi lipid dan
rasio leptin yang tinggi.
Apoptosis kronis
kemudian dikompensasi
dengan peningkatan laju
proliferasi hepatosit,
disertai DNA yang rusak
oleh disfungsi
mitokondria, dan
menyebabkan mutasi
genetik dan kanker.
Pada model tikus,
melatonin merupakan
senyawa yang
menurunkan fibrosis hati,
[51] sedang pada model
kelinci, kurkumin
merupakan senyawa
organik yang
menurunkan paraklinis
steatohepatitis,[52]
sedang hormon serotonin
[53] dan kurangnya
asupan metionina dan
kolina[54] memberikan
efek sebaliknya dengan
resistansi adiponektin.
[55]
Disfungsi mitokondria
juga ditemukan pada
seluruh patogenesis hati,
dari kasus radang hingga
kanker dan
transplantasi.[56] Pada
kolestasis kronik, asam
ursodeoksikolat bersama
dengan GSH bersinergis
sebagai antioksidan yang
melindungi sardiolipin
dan fosfatidil serina
hingga mencegah
terjadinya sirosis hati.
[57]
Pengaruh alkohol
Alkohol dikenal memiliki
fungsi immunosupresif
terhadap sistem
kekebalan tubuh,
termasuk meredam
ekspresi kluster
diferensiasi CD4+ dan
CD8+ yang diperlukan
dalam pertahanan hati
terhadap infeksi viral,
terutama HCV.[58]
Alkohol juga meredam
rasio kemokina IFN pada
lintasan transduksi sinyal
selular, selain
meningkatkan resiko
terjadinya fibrosis.[59]
Banyak lintasan
metabolisme
memberikan kontribusi
terhadap alkohol untuk
menginduksi stres
oksidatif.[60] Salah satu
lintasan metabolisme
yang sering diaktivasi
oleh etanol adalah
induksi enzim sitokrom
P450 2E1. Enzim ini
menimbulkan spesi
oksigen reaktif seperti
radikal anion
superoksida dan
hidrogen peroksida,
serta mengaktivasi
subtrat toksik termasuk
etanol menjadi produk
yang lebih reaktif dan
toksik. Sel dendritik
tampaknya merupakan
sel yang paling
terpengaruh oleh
kandungan etanol di
dalam alkohol. Pada
percobaan menggunakan
model tikus, etanol
meningkatkan rasio
plasma IL-1β, IL-6, IL-8,
TNF-α, AST, ALT, ADH, γ-
GT, TG, MDA dan
meredam rasio IL-10,
GSH,[61] faktor
transkripsi NF-κB dan
AP-1.[62]
Pengaruh alkaloid
Kopi, salah satu
kompleks senyawa
alkaloid dari golongan
purina xantina dengan
asam klorogenat dan
lignan,[63] pada studi
epidemiologis,
disimpulkan sebagai
salah satu faktor
penurun risiko terjadinya
diabetes mellitus tipe 2,
[64][65] penyakit
Parkinson, sirosis hati
dan karsinoma
hepatoselular,[66] dan
perbaikan toleransi
glukosa.[63] Konsumsi
kopi secara kronis
terbukti tidak
menyebabkan tekanan
darah tinggi namun
secara akut
mengakibatkan
peningkatan tekanan
darah sementara dalam
selang waktu singkat,[67]
dan plasma homosisteina
[66] sehingga dapat
menjadi ancaman bagi
penderita gangguan
kardiovaskular.[64]
Konsumsi kopi secara
teratur dapat
menurunkan rasio enzim
ALT serta aktifitas
enzimatik pada lintasan
metabolisme hati,[68]
yang sering disebabkan
oleh[69] infeksi viral,
induksi obat-obatan,
keracunan, kondisi
iskemik, steatosis (akibat
alkohol, diabetes,
obesitas), penyakit
otoimun,[70] dan
resistansi insulin,
sindrom metabolisme,
[71] dan kelebihan zat
besi.[72] Selain ALT, kopi
juga menurunkan enzim
hati yang lain, yaitu
gamma-GT dan alkalina
fosfatase.[73] dan
memberikan efek
antioksidan dan
detoksifikasi fasa II oleh
karena senyawa
diterpena, kafestol dan
kahweol,[74] sehingga
mencegah terjadinya
proses karsinogenesis.
[75][76] Proses tersebut
disertai dengan gamma-
GT sebagai indikator
utama.[77]
Transplantasi hati
Teknologi transplantasi
hati merupakan hasil
yang dikembangkan dari
penelitian pada
beberapa bidang studi
kedokteran. Pada tahun
1953, Billingham, Brent,
dan Medawar
menemukan bahwa
toleransi kimerisme[78]
dapat diinduksi oleh infus
sel hematolimfopoietik
donor pada model tikus.
[79]
Pada tahun 1958 studi
canine mengembangkan
suatu teori mengenai
molekul hepatotrofik
pada portal pembuluh
balik pada hati dan
menemukan hormon
insulin sebagai faktor
hepatotrofik utama dari
beberapa faktor lain
yang ada.[80] Pada saat
yang hampir bersamaan
teori mengenai
transplantasi multiviseral
dan hati juga
berkembang dari studi
imunosupresi yang
mempelajari algoritma
empiris dari pengenalan
pola dan respon terapis.
Pada awal 1960,
dibuktikan bahwa canine
dan allograft manusia
memiliki toleransi
kimersime yang dapat
terinduksi otomatis
dengan bantuan
imunosupresi, hingga
pada akhir 1962
disimpulkan dengan
keliru, bahwa
transplantasi melibatkan
dua sistem kekebalan
yang berbeda.
Konsekuensi kesimpulan
tersebut menjadi dogma
bahwa tolerogenisitas
hati, pada dasarnya,
berbeda, tidak hanya
dengan sumsum tulang
belakang, tetapi dengan
seluruh organ tubuh yang
lain.[79] Kekeliruan ini
tidak terkoreksi dengan
baik hingga tahun 1990.
[78]
Transplantasi hati yang
pertama dilakukan di
Denver pada tahun 1963,
[81] keberhasilan
pertama tercatat pada
tahun 1967 dengan
azatioprina, prednison
dan globulin anti-limfoid,
oleh Thomas E. Starzl
dari Amerika Serikat,
disusul oleh keberhasilan
transplantasi sumsum
tulang belakang manusia
pada tahun 1968.[78]
Rentang waktu antara
1967 hingga 1979
mencatat 84 kali
transplantasi hati pada
anak dengan 30% daya
tahan hidup hingga 2
tahun.[81]
Perkembangan studi
imunosupresi kemudian
memberikan perbaikan
dan harapan hidup lebih
panjang bagi pasien,
antara lain dengan
pergantian azatioprina
dengan siklosporina pada
tahun 1979, lalu
tergantikan dengan
takrolimus pada tahun
1989.[80]
Pada tahun 1992,
dikembangkan teori
mikrokimerisme leukosit
donor[82] dengan
cakupan donor dari
silsilah berlainan, yang
memberikan harapan
hidup yang sangat
panjang bagi penerima
donor organ, setelah
diketahui hubungan
antara aspek imunologis
dari transplantasi,
infeksi, toleransi oleh
sumsum tulang belakang,
neoplasma dan kelainan
otoimun, yang disebut
sebagai mekanisme
seminal. Respon
kekebalan dan toleransi
kekebalan antara organ
donor dan tubuh
ditemukan merupakan
fungsi dari migrasi dan
lokalisasi leukosit.[79]
Salah satu temuan
adalah aktivasi sistem
kekebalan turunan oleh
sel NK dan interferon-γ
segera setelah
transplantasi selesai
dilakukan.[83] Pada
model tikus, sel
hepatosit donor
ditemukan bersifat
sangat antigenik
sehingga memicu respon
penolakan, yang dapat
dilakukan secara mandiri
atau bersama-sama
antara sel T CD4 dan sel
T CD8.[84]
Untuk itu diperlukan
terapi imunosupresif
yang intensif sebelum
transplantasi dilakukan,
yang disebut preparative
regimen atau
conditioning untuk
mencegah penolakan
organ donor oleh sistem
kekebalan inang.[85]
Terapi imunosupresif
tersebut ditujukan untuk
menekan sel T dan sel NK
inang guna memberikan
ruang di dalam sumsum
tulang belakang untuk
transplantasi sel punca
hematopoietik dari
organ donor melalui
terapi mielosupresif,
untuk keseimbangan
repopulasi sel donor
dengan sel hasil
diferensiasi dari sel
punca inang.
Dewasa ini, transplantasi
hati dilakukan hanya
pada saat hati telah
memasuki jenjang akhir
suatu penyakit, atau
telah terjadi disfungsi
akut yang disebut
fulminant hepatic failure.
Kasus transplantasi hati
pada manusia umumnya
disebabkan oleh sirosis
hati akibat dari hepatitis
C kronis, ketergantungan
alkohol, hepatitis
otoimun dll.
Teknik umum yang
digunakan adalah
transplantasi ortotopik,
yaitu penempatan organ
donor pada posisi
anatomik yang sama
dengan posisi awal organ
sebelumnya.
Transplantasi hati
berpotensi dapat
diterapkan, hanya jika
penerima organ donor
tidak memiliki kondisi
lain yang memberatkan,
seperti kanker
metastatis di luar organ
hati, ketergantungan
pada obat-obatan atau
alkohol. Beberapa ahli
berpedoman pada
kriteria Milan untuk
seleksi pasien
transplantasi hati.
Organ donor, disebut
allograft, biasanya
berasal dari manusia lain
yang baru saja meninggal
dunia akibat cedera otak
traumatik (kadaverik).
Teknik transplantasi lain
menggunakan organ
manusia yang masih
hidup, operasi
hepatektomi
mengangkat 20% hati
pada segmen Coinaud 2
dan 3 dari orang dewasa
untuk didonorkan
kepada seorang anak,
pada tahun 1989.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar