18 Juli 2011
Bung Hatta
Dr.(H.C.) Drs. H.
Mohammad Hatta
(populer sebagai Bung
Hatta, lahir di Fort de
Kock (kini Bukittinggi),
Sumatera Barat, 12
Agustus 1902 – meninggal
di Jakarta, 14 Maret 1980
pada umur 77 tahun)
adalah pejuang,
negarawan, dan juga
Wakil Presiden Indonesia
yang pertama. Ia mundur
dari jabatan wakil
presiden pada tahun
1956, karena berselisih
dengan Presiden
Soekarno. Hatta dikenal
sebagai Bapak Koperasi
Indonesia. Bandar udara
internasional Jakarta
menggunakan namanya
sebagai penghormatan
terhadap jasanya sebagai
salah seorang
proklamator
kemerdekaan Indonesia.
Nama yang diberikan
oleh orangtuanya ketika
dilahirkan adalah
Muhammad Athar. Anak
perempuannya bernama
Meutia Hatta menjabat
sebagai Menteri Negara
Pemberdayaan
Perempuan dalam
Kabinet Indonesia
Bersatu pimpinan
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Ia
dimakamkan di Tanah
Kusir, Jakarta.
Latar belakang dan
pendidikan
Hatta lahir dari keluarga
ulama Minangkabau,
Sumatera Barat. Ia
menempuh pendidikan
dasar di Sekolah Melayu
Fort de Kock dan pada
tahun 1913-1916
melanjutkan studinya ke
Europeesche Lagere
School ( ELS) di Padang.
Saat usia 13 tahun,
sebenarnya ia telah lulus
ujian masuk ke HBS
(setingkat SMA) di
Batavia (kini Jakarta),
namun ibunya
menginginkan Hatta
agar tetap di Padang
dahulu, mengingat
usianya yang masih
muda. Akhirnya Bung
Hatta melanjutkan studi
ke MULO di Padang. Baru
pada tahun 1919 ia pergi
ke Batavia untuk studi di
Sekolah Tinggi Dagang
"Prins Hendrik School".
Ia menyelesaikan
studinya dengan hasil
sangat baik, dan pada
tahun 1921, Bung Hatta
pergi ke Rotterdam,
Belanda untuk belajar
ilmu perdagangan/bisnis
di Nederland
Handelshogeschool
(bahasa inggris:
Rotterdam School of
Commerce, kini menjadi
Universitas Erasmus). Di
Belanda, ia kemudian
tinggal selama 11 tahun.
Pada tangal 27 November
1956, Bung Hatta
memperoleh gelar
kehormatan akademis
yaitu Doctor Honoris
Causa dalam Ilmu Hukum
dari Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta.
Pidato pengukuhannya
berjudul "Lampau dan
Datang".
Saat berusia 15 tahun,
Hatta merintis karier
sebagai aktivis
organisasi, sebagai
bendahara Jong
Sumatranen Bond
Cabang Padang.
Kesadaran politik Hatta
makin berkembang
karena kebiasaannya
menghadiri ceramah-
ceramah atau
pertemuan-pertemuan
politik. Salah seorang
tokoh politik yang
menjadi idola Hatta
ketika itu ialah Abdul
Moeis. Di Batavia, ia juga
aktif di Jong Sumatranen
Bond Pusat sebagai
Bendahara. Ketika di
Belanda ia bergabung
dalam Perhimpunan
Hindia ( Indische
Vereeniging). Saat itu,
telah berkembang iklim
pergerakan di Indische
Vereeniging.
Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri
pada 1908 tak lebih dari
ajang pertemuan pelajar
asal tanah air. Atmosfer
pergerakan mulai
mewarnai Indische
Vereeniging semenjak
tibanya tiga tokoh
Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Ernest
Douwes Dekker, dan
Tjipto Mangunkusumo) di
Belanda pada 1913
sebagai orang buangan
akibat tulisan-tulisan
tajam anti-pemerintah
mereka di media massa.
Perjuangan
Saat berusia 15 tahun,
Hatta merintis karier
sebagai aktivis
organisasi, sebagai
bendahara Jong
Sumatranen Bond (JSB)
Cabang Padang. Di kota
ini Hatta mulai
menimbun pengetahuan
perihal perkembangan
masyarakat dan politik,
salah satunya lewat
membaca berbagai
koran, bukan saja koran
terbitan Padang tetapi
juga Batavia. Lewat
itulah Hatta mengenal
pemikiran Tjokroaminoto
dalam surat kabar
Utusan Hindia, dan Agus
Salim dalam Neratja.
Kesadaran politik Hatta
makin berkembang
karena kebiasaannya
menghadiri ceramah-
ceramah atau
pertemuan-pertemuan
politik. Salah seorang
tokoh politik yang
menjadi idola Hatta
ketika itu ialah Abdul
Moeis. "Aku kagum
melihat cara Abdul Moeis
berpidato, aku asyik
mendengarkan suaranya
yang merdu setengah
parau, terpesona oleh
ayun katanya. Sampai
saat itu aku belum
pernah mendengarkan
pidato yang begitu hebat
menarik perhatian dan
membakar semangat,"
aku Hatta dalam
Memoir-nya. Itulah Abdul
Moeis: pengarang roman
Salah Asuhan; aktivis
partai Sarekat Islam;
anggota Volksraad; dan
pegiat dalam majalah
Hindia Sarekat, koran
Kaoem Moeda, Neratja,
Hindia Baroe, serta
Utusan Melayu dan
Peroebahan.
Pada usia 17 tahun,
Hatta lulus dari sekolah
tingkat menengah
(MULO). Lantas ia
bertolak ke Batavia
untuk melanjutkan studi
di Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School. Di
sini, Hatta mulai aktif
menulis. Karangannya
dimuat dalam majalah
Jong Sumatera, "Namaku
Hindania!" begitulah
judulnya. Berkisah
perihal janda cantik dan
kaya yang terbujuk
kawin lagi. Setelah
ditinggal mati suaminya,
Brahmana dari
Hindustan, datanglah
musafir dari Barat
bernama Wolandia, yang
kemudian meminangnya.
"Tapi Wolandia terlalu
miskin sehingga lebih
mencintai hartaku
daripada diriku dan
menyia-nyiakan anak-
anakku," rutuk Hatta
lewat Hindania.
Pemuda Hatta makin
tajam pemikirannya
karena diasah dengan
beragam bacaan,
pengalaman sebagai
Bendahara JSB Pusat,
perbincangan dengan
tokoh-tokoh pergerakan
asal Minangkabau yang
mukim di Batavia, serta
diskusi dengan temannya
sesama anggota JSB:
Bahder Djohan. Saban
Sabtu, ia dan Bahder
Djohan punya kebiasaan
keliling kota. Selama
berkeliling kota, mereka
bertukar pikiran tentang
berbagai hal mengenai
tanah air. Pokok soal
yang kerap pula mereka
perbincangkan ialah
perihal memajukan
bahasa Melayu. Untuk
itu, menurut Bahder
Djohan perlu diadakan
suatu majalah. Majalah
dalam rencana Bahder
Djohan itupun sudah ia
beri nama Malaya.
Antara mereka berdua
sempat ada pembagian
pekerjaan. Bahder
Djohan akan
mengutamakan
perhatiannya pada
persiapan redaksi
majalah, sedangkan
Hatta pada soal
organisasi dan
pembiayaan penerbitan.
Namun, “Karena
berbagai hal cita-cita
kami itu tak dapat
diteruskan,” kenang
Hatta lagi dalam
Memoir-nya.
Selama menjabat
Bendahara JSB Pusat,
Hatta menjalin
kerjasama dengan
percetakan surat kabar
Neratja. Hubungan itu
terus berlanjut meski
Hatta berada di
Rotterdam, ia dipercaya
sebagai koresponden.
Suatu ketika pada medio
tahun 1922, terjadi
peristiwa yang
mengemparkan Eropa,
Turki yang dipandang
sebagai kerajaan yang
sedang runtuh memukul
mundur tentara Yunani
yang dijagokan oleh
Inggris. Rentetan
peristiwa itu Hatta
pantau lalu ia tulis
menjadi serial tulisan
untuk Neratja di Batavia.
Serial tulisan Hatta itu
menyedot perhatian
khalayak pembaca,
bahkan banyak surat
kabar di tanah air yang
mengutip tulisan-tulisan
Hatta.
Perangko Satu Abad
Bung Hatta diterbitkan
oleh PT Pos Indonesia
tahun 2002
Hatta mulai menetap di
Belanda semenjak
September 1921. Ia
segera bergabung dalam
Perhimpunan Hindia
(Indische Vereeniging).
Saat itu, telah tersedia
iklim pergerakan di
Indische Vereeniging.
Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri
pada 1908 tak lebih dari
ajang pertemuan pelajar
asal tanah air. Atmosfer
pergerakan mulai
mewarnai Indische
Vereeniging semenjak
tibanya tiga tokoh
Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes
Dekker, dan Tjipto
Mangunkusumo) di
Belanda pada 1913
sebagai eksterniran
akibat kritik mereka
lewat tulisan di koran De
Expres. Kondisi itu
tercipta, tak lepas
karena Suwardi
Suryaningrat (Ki Hadjar
Dewantara) menginisiasi
penerbitan majalah
Hindia Poetra oleh
Indische Vereeniging
mulai 1916. Hindia Poetra
bersemboyan
“Ma’moerlah Tanah
Hindia! Kekallah Anak-
Rakjatnya!” berisi
informasi bagi para
pelajar asal tanah air
perihal kondisi di
Nusantara, tak
ketinggalan pula tersisip
kritik terhadap sikap
kolonial Belanda.
Di Indische Vereeniging,
pergerakan putra
Minangkabau ini tak lagi
tersekat oleh ikatan
kedaerahan. Sebab
Indische Vereeniging
berisi aktivis dari
beragam latar belakang
asal daerah. Lagipula,
nama Indische –meski
masih bermasalah– sudah
mencerminkan kesatuan
wilayah, yakni gugusan
kepulauan di Nusantara
yang secara politis diikat
oleh sistem kolonialisme
belanda. Dari sanalah
mereka semua berasal.
Hatta mengawali karier
pergerakannya di
Indische Vereeniging
pada 1922, lagi-lagi,
sebagai Bendahara.
Penunjukkan itu
berlangsung pada 19
Februari 1922, ketika
terjadi pergantian
pengurus Indische
Vereeniging. Ketua lama
dr. Soetomo diganti oleh
Hermen Kartawisastra.
Momentum suksesi kala
itu punya arti penting
bagi mereka di masa
mendatang, sebab ketika
itulah mereka
memutuskan untuk
mengganti nama Indische
Vereeniging menjadi
Indonesische Vereeniging
dan kelanjutannya
mengganti nama
Nederland Indie menjadi
Indonesia. Sebuah pilihan
nama bangsa yang sarat
bermuatan politik.
Dalam forum itu pula,
salah seorang anggota
Indonesische Vereeniging
mengatakan bahwa dari
sekarang kita mulai
membangun Indonesia
dan meniadakan Hindia
atau Nederland Indie.
Pada tahun 1927, Hatta
bergabung dengan Liga
Menentang Imperialisme
dan Kolonialisme di
Belanda, dan di sinilah ia
bersahabat dengan
nasionalis India,
Jawaharlal Nehru.
Aktivitasnya dalam
organisasi ini
menyebabkan Hatta
ditangkap pemerintah
Belanda. Hatta akhirnya
dibebaskan, setelah
melakukan pidato
pembelaannya yang
terkenal: Indonesia Free.
Pada tahun 1932 Hatta
kembali ke Indonesia dan
bergabung dengan
organisasi Club
Pendidikan Nasional
Indonesia yang bertujuan
meningkatkan kesadaran
politik rakyat Indonesia
melalui proses pelatihan-
pelatihan. Belanda
kembali menangkap
Hatta, bersama Soetan
Sjahrir, ketua Club
Pendidikan Nasional
Indonesia pada bulan
Februari 1934. Hatta
diasingkan ke Digul dan
kemudian ke Banda
selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta
secara aklamasi diangkat
sebagai wakil presiden
pertama RI, bersama
Bung Karno yang menjadi
presiden RI sehari
setelah ia dan bung
karno
memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena peran
tersebut maka keduanya
disebut Bapak
Proklamator Indonesia.
Kehidupan pribadi
Tanggal 18 November
1945 bertempat di
Megamendung, Bogor,
Jawa Barat. Mohammad
Hatta mempersunting
seorang gadis yang
bernama Rahmi Rachim.
dari pernikahan tersebut
mereka dikaruniai tiga
orang anak.
Bung Hatta sebagai
tokoh organisasi dan
partai politik
Bung Hatta adalah nama
salah seorang dari beribu
pahlawan yang pernah
memperjuangkan
kemerdekaan dan
kemajuan Indonesia.
Sosok Bung Hatta telah
menjadi begitu dekat
dengan hati rakyat
Indonesia karena
perjuangan dan sifatnya
yang begitu merakyat.
Besarnya peran beliau
dalam perjuangan negeri
ini sehingga ai disebut
sebagai salah seorang
bapak bangsa Indonesia.
Berbagai tulisan dan
kisah perjuangan
Muhammad Hatta telah
ditulis dan dibukukan,
mulai dari masa kecil,
remaja, dewasa dan
perjuangan beliau untuk
mewujudkan
kemerdekaan Indonesia.
Namun ada hal yang
rasanya perlu sedikit
digali dan dipahami yaitu
melihat Bung Hatta
sebagai tokoh organisasi
dan partai politik, hal ini
dikaitkan dengan usaha
melihat perkembangan
kegiatan politik dan
ketokohan politik di
dunia politik Indonesia
sekarang maka pantas
rasanya kita ikut melihat
perjuangan dan
perjalanan kegiatan
politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I
berakhir generasi muda
Indonesia yang
berprestasi makin
banyak yang mendapat
kesempatan mengenyam
pendidikan luar negeri
seperti di Belanda, Kairo
(Mesir). Hal ini diperkuat
dengan diberlakukannya
politik balas budi oleh
Belanda. Bung Hatta
adalah salah seorang
pemuda yang beruntung,
beliau mendapat
kesempatan belajar di
Belanda. Kalau kita
memperhatikan
semangat berorganisasi
Bung Hatta, sebenarnya
telah tumbuh sewaktu
beliau berada di
Indonesia. Beliau pernah
menjadi ketua Jong
Sematera (1918-1921) dan
semangat ini makin
membara dengan asahan
dari kultur pendidikan
Belanda/Eropa yang
bernafas demokrasi dan
keterbukaan.
Keinginan dan semangat
berorganisasi Bung Hatta
makin terlihat sewaktu
beliau mulai aktif di
kelompok Indonesische
Vereeniging yang
merupakan perkumpulan
pemuda-pemuda
Indonesia yang
memikirkan dan
berusaha memajukan
Indonesia, bahkan dalam
organisasi ini dinyatakan
bahwa tujuan mereka
adalah : “ kemerdekaan
bagi Indonesia “. Dalam
organisasi yang keras
dan anti penjajahan ini
Bung Hatta makin “tahan
banting” karena
banyaknya rintangan dan
hambatan yang mereka
hadapi.
Walau mendapat
tekanan, organisasi
Indonesische Vereeniging
tetap berkembang
bahkan Januari 1925
organisasi ini dinyatakan
sebagai sebuah
organisasi politik yang
kemudian dinamai
Perhimpunan Indonesia
(PI). Dan dalam
organisasi ini Bung Hatta
bertindak sebagai
Pemimpinnya.
Keterlibatan Bung Hatta
dalam organisasi dan
partai poltik bukan
hanya di luar negeri tapi
sekembalinya dari
Belanda beliau juga aktif
di PNI (Partai Nasional
Indonesia) yang didirikan
Soekarno tahun 1927.
Dalam organisasi PNI,
Bung Hatta menitik
beratkan kegiatannya
dibidang pendidikan.
Beliau melihat bahwa
melalui pendidikanlah
rakyat akan mampu
mencapai kemerdekaan.
Karena PNI dinilai
sebagai partai yang
radikal dan
membahayakan bagi
kedudukan Belanda,
maka banyak tekanan
dan upaya untuk
mengurangi pengaruhnya
pada rakyat. Hal ini
dilihat dari propaganda
dan profokasi PNI
tehadap penduduk untuk
mengusakan
kemerdekaan. Hingga
akhirnya Bunga Karno di
tangkap dan demi
keamanan organisasi ini
membubarkan diri.
Tak lama setetah PNI
(Partai Nasional
Indonesia) bubar,
berdirilah organisasi
pengganti yang
dinamanakan Partindo
(Partai Indonesia).
Mereka memiliki sifat
organisasi yang radikal
dan nyata-nyata
menentang Belanda. Hal
ini tak di senangi oleh
Bung Hatta. Karena tak
sependapat dengan
Partindo beliau
mendirikan PNI
Pendidikan (Partai
Nasional Indonesia
Pendidikan) atau disebut
juga PNI Baru. Organisasi
ini didirikan di
Yogyakarta bulan
Agustus 1932, dan Bung
Hatta diangkat sebagai
pemimpin. Organisasi ini
memperhatikan “
kemajuan pendidikan
bagi rakyat Indonesia,
menyiapkan dan
menganjurkan rakyat
dalam bidang kebatinan
dan
mengorganisasikannya
sehingga bisa dijadakan
suatu aksi rakyat dengan
landasan demokrasi
untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini
berkembang dengan
pesat, bayangkan pada
kongres I di Bandung
1932 anggotanya baru
2000 orang dan setahun
kemudian telah memiliki
65 cabang di Indonesia.
Organisasi ini mendapat
pengikut dari penduduk
desa yang ingin
mendapat dan
mengenyam pendidikan.
Di PNI Pendidikan Bung
Hatta bekerjasama
dengan Syahrir yang
merupakan teman
akrabnya sejak di
Belanda. Hal ini makin
memajukan organisasi ini
di dunia pendidikan
Indonesia waktu itu.
Kemajuan, kegiatan dan
aksi dari PNI Pendidikan
dilihat Belanda sebagai
ancaman baru tehadap
kedudukan mereka
sebagai penjajah di
Indonesia dan mereka
pun mengeluarkan
beberapa ketetapan
ditahun 1933 di
antaranya:
Polisi diperintahkan
bertindak keras
terhadap rapat-rapat PNI
Pendidikan.
27 Juni 1933, pegawai
negeri dilarang menjadi
anggota PNI Pendidikan.
1 Agustus 1933, diadakan
pelarangan rapat-rapat
PNI Pendidikan di seluruh
Indonesia.
Akhirnya ditahun 1934
Partai Nasional Indonesia
Pendidikan dinyatakan
Pemerintahan Kolonial
Belanda di bubarkan dan
dilarang keras bersama
beberapa organisasi lain
yang dianggap
membahayakan seperti :
Partindo dan PSII. Ide-ide
PNI Pendidikan yang
dituangkan dalam surat
kabar ikut di hancurkan
dan surat kabar yang
menerbitkan ikut di
bredel. Namun secara
keorganisasian, Hatta
sebagai pemimpin tak
mau menyatakan
organisasinya telah
bubar. Ia tetap aktif dan
berjuang untuk
kemajuan pendidikan
Indonesia.
Soekarno yang aktif di
Partindo dibuang ke
Flores diikuti dengan
pengasingan Hatta dan
Syahrir. Walau para
pemimpin di asingkan
namun para pengikut
mereka tetap konsisten
melanjutkan perjuangan
partai. PNI Pendidikan
tetap memberikan
kursus-kursus, pelatihan-
pelatuhan baik melalui
tulisan maupun dengan
kunjungan kerumah-
rumah penduduk.
Dalam sidang masalah
PNI Pendidikan M.Hatta,
Syahrir, Maskun,
Burhanuddin ,Bondan dan
Murwoto dinyatakan
bersalah dan dibuang ke
Boven Digul (Papua).
Demi harapan
terciptanya ketenangan
di daerah jajahan. Walau
telah mendapat
hambatan yang begitu
besar namun perjuangan
Hatta tak hanya sampai
disitu, beliau terus
berjuang dan salah satu
hasil perjuangan Hatta
dan para pahlawan lain
tersebut adalah
kemerdekaan yang telah
kita raih dan kita
rasakan sekarang.
Sebagai tulisan singkat
mengenai sejarah
ketokohan Muhammad
Hatta di organisasi dan
partai politik yang
pernah beliau geluti, kita
haruslah dapat
mengambil pelajaran
dari hal ini. Karena
sejarah tak berarti apa-
apa bila kita tak mampu
mengambil manfaat dan
nilai-nilai positif
didalamnya. Dari
kehidupan Hatta di dunia
politik kita bisa melihat
bahwa : Munculnya
seorang tokoh penting
dan memiliki jiwa patriot
yang tangguh dan
memikirkan kehidupan
orang banyak serta
memajukan bangsa dan
negara “bukan hanya
muncul dalam satu
malam” atau bukanlah
tokoh kambuhan yang
muncul begitu saja, dan
bukanlah sosok yang
mengambil kesempatan
untuk tampil sebagai
pahlawan dan sosok
pemerhati masyarakat.
Tapi tokoh yang dapat
kita jadikan contoh dan
panutan dalam
organisasi, partai, dan
kehidupan berbangsa
dan bernegara yang
sesunguhnya adalah
seorang sosok yang lahir
dan tumbuh dalam
lingkungan masyarakat,
ia terlatih untuk mampu
memahami keinginan
dan cita-cita
masyarakat, serta
bertindak dengan
menggunakan ilmu dan
iman.
Seiring dengan
meruaknya wacana
demokrasi, terutama di
era reformasi kita bisa
melihat bahwa di
Indonesia berkembang
berbagai partai baru
yang jumlahnya telah
puluhan. Dalam
kenyataanya
memunculkan nama-
nama baru sebagai
tokoh, elit partai, elit
politik yang berpengaruh
di berbagai partai
tersebut. Ada juga tokoh
politik yang merupakan
wajah-wajah lama yang
konsisten di partainya
atau beralih membentuk
partai baru. Apakah
mereka sudah pantas
dikatakan sebagai tokoh,
elite politik / elite
partai?. Sebagai salah
satu sosok tokoh ideal,
dengan mencontoh
ketokohan Bung Hatta
kita harus mampu
melihat berapa persen di
antara tokoh-tokoh,
orang-orang penting,
elite politik / elite partai
di Indonesia sekarang
yang telah
memperhatikan
kehidupan masyarakat,
berapa persen di antara
mereka yang sudah
melakukan usaha untuk
memajukan kehidupan
masyarakat Indonesia
baik di bidang ekonomi,
pendidikan, politik dan
lain-lain.
Dalam kenyataannya,
kebanyakan kita melihat
tokoh politik, elite
politik dan tokoh-tokoh
partai di Indonesia
dewasa ini kurang
memperhatikan
kehidupan dan kemajuan
masyarakat. Mereka
hanya mengambil simpati
masyarakat disaat-saat
mereka membutuhkan
suara dan partisipasi
penduduk, seperti saat-
saat akan diadakannnya
pemilihan umum
(nasional), saat
diadakannya pemilihan
kepala daerah (Pilkada),
setelah kegiatan itu
berlangsung mereka
mulai meninggalkan dan
melupakan masyarakat.
Namun ada beberapa
partai dan tokoh yang
sering terlihat dalam
berbagai kegiatan social
dan memperhatikan
masyarakat.
Apakah kita masih
menganggap bahwa
seorang penjahat,
pemaling (koruptor) yang
lolos dari sergapan
hukum sebagai tokoh
panutan kita di
organisasi, partai politik,
pemerintahan, atau
kehidupan sehari-hari?.
Jadi pantaslah kita
belajar dari ketokohan
Muhammad Hatta dalam
kehidupan politiknya
yang selalu bertindak
demi kesejahteraan dan
kemajuan rakyat
Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar