19 Mei 2010

Gus Dur (Abdurrahman Wahid)


Kyai Haji Abdurrahman
Wahid, akrab dipanggil
Gus Dur (lahir di
Jombang, Jawa Timur, 7
September 1940 –
meninggal di Jakarta, 30
Desember 2009 pada
umur 69 tahun) adalah
tokoh Muslim Indonesia
dan pemimpin politik
yang menjadi Presiden
Indonesia yang keempat
dari tahun 1999 hingga
2001. Ia menggantikan
Presiden B. J. Habibie
setelah dipilih oleh MPR
hasil Pemilu 1999.
Penyelenggaraan
pemerintahannya
dibantu oleh Kabinet
Persatuan Nasional.
Masa kepresidenan
Abdurrahman Wahid
dimulai pada 20 Oktober
1999 dan berakhir pada
Sidang Istimewa MPR
pada tahun 2001. Tepat
23 Juli 2001,
kepemimpinannya
digantikan oleh
Megawati Soekarnoputri
setelah mandatnya
dicabut oleh MPR.
Abdurrahman Wahid
adalah mantan ketua
Tanfidziyah (badan
eksekutif) Nahdlatul
Ulama dan pendiri Partai
Kebangkitan Bangsa
(PKB).
Abdurrahman Wahid
lahir pada hari ke-4 dan
bulan ke-8 kalender
Islam tahun 1940 di
Denanyar Jombang, Jawa
Timur dari pasangan
Wahid Hasyim dan
Solichah. Terdapat
kepercayaan bahwa ia
lahir tanggal 4 Agustus,
namun kalender yang
digunakan untuk
menandai hari
kelahirannya adalah
kalender Islam yang
berarti ia lahir pada 4
Sya'ban, sama dengan 7
September 1940. Ia lahir
dengan nama
Abdurrahman Addakhil.
"Addakhil" berarti "Sang
Penakluk".[2] Kata
"Addakhil" tidak cukup
dikenal dan diganti nama
"Wahid", dan kemudian
lebih dikenal dengan
panggilan Gus Dur. "Gus"
adalah panggilan
kehormatan khas
pesantren kepada
seorang anak kiai yang
berati "abang" atau
"mas". Gus Dur adalah
putra pertama dari enam
bersaudara. Wahid lahir
dalam keluarga yang
sangat terhormat dalam
komunitas Muslim Jawa
Timur. Kakek dari
ayahnya adalah K.H.
Hasyim Asyari, pendiri
Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari
pihak ibu, K.H. Bisri
Syansuri, adalah
pengajar pesantren
pertama yang
mengajarkan kelas pada
perempuan. Ayah Gus
Dur, K.H. Wahid Hasyim,
terlibat dalam Gerakan
Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun
1949. Ibunya, Ny. Hj.
Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok
Pesantren Denanyar
Jombang.
Gus Dur secara terbuka
pernah menyatakan
bahwa ia memiliki darah
Tionghoa. Abdurrahman
Wahid mengaku bahwa
ia adalah keturunan dari
Tan Kim Han yang
menikah dengan Tan A
Lok, saudara kandung
Raden Patah (Tan Eng
Hwa), pendiri Kesultanan
Demak. Tan A Lok dan
Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari
Putri Campa, puteri
Tiongkok yang
merupakan selir Raden
Brawijaya V. Tan Kim
Han sendiri kemudian
berdasarkan penelitian
seorang peneliti
Perancis, Louis-Charles
Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul
Qodir Al-Shini yang
diketemukan makamnya
di Trowulan.
Pada tahun 1944, Wahid
pindah dari Jombang ke
Jakarta, tempat ayahnya
terpilih menjadi Ketua
pertama Partai Majelis
Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), sebuah
organisasi yang berdiri
dengan dukungan
tentara Jepang yang saat
itu menduduki Indonesia.
Setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945,
Gus Dur kembali ke
Jombang dan tetap
berada di sana selama
perang kemerdekaan
Indonesia melawan
Belanda. Pada akhir
perang tahun 1949,
Wahid pindah ke Jakarta
dan ayahnya ditunjuk
sebagai Menteri Agama.
Abdurrahman Wahid
belajar di Jakarta, masuk
ke SD KRIS sebelum
pindah ke SD Matraman
Perwari. Wahid juga
diajarkan membaca buku
non-Muslim, majalah,
dan koran oleh ayahnya
untuk memperluas
pengetahuannya. Gus
Dur terus tinggal di
Jakarta dengan
keluarganya meskipun
ayahnya sudah tidak
menjadi menteri agama
pada tahun 1952. Pada
April 1953, ayah Wahid
meninggal dunia akibat
kecelakaan mobil.
Pada Juni 1999, partai
PKB ikut serta dalam
arena pemilu legislatif.
PKB memenangkan 12%
suara dengan PDI-P
memenangkan 33%
suara. Dengan
kemenangan partainya,
Megawati
memperkirakan akan
memenangkan pemilihan
presiden pada Sidang
Umum MPR. Namun, PDI-
P tidak memiliki
mayoritas penuh,
sehingga membentuk
aliansi dengan PKB. Pada
Juli, Amien Rais
membentuk Poros
Tengah, koalisi partai-
partai Muslim. Poros
Tengah mulai
menominasikan Gus Dur
sebagai kandidat ketiga
pada pemilihan presiden
dan komitmen PKB
terhadap PDI-P mulai
berubah.
Pada 7 Oktober 1999,
Amien dan Poros Tengah
secara resmi
menyatakan
Abdurrahman Wahid
sebagai calon presiden.
Pada 19 Oktober 1999,
MPR menolak pidato
pertanggungjawaban
Habibie dan ia mundur
dari pemilihan presiden.
Beberapa saat kemudian,
Akbar Tanjung, ketua
Golkar dan ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
menyatakan Golkar akan
mendukung Gus Dur.
Pada 20 Oktober 1999,
MPR kembali berkumpul
dan mulai memilih
presiden baru.
Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih
sebagai Presiden
Indonesia ke-4 dengan
373 suara, sedangkan
Megawati hanya 313
suara.
Tidak senang karena
calon mereka gagal
memenangkan
pemilihan, pendukung
Megawati mengamuk
dan Gus Dur menyadari
bahwa Megawati harus
terpilih sebagai wakil
presiden. Setelah
meyakinkan jendral
Wiranto untuk tidak ikut
serta dalam pemilihan
wakil presiden dan
membuat PKB
mendukung Megawati,
Gus Dur pun berhasil
meyakinkan Megawati
untuk ikut serta. Pada 21
Oktober 1999, Megawati
ikut serta dalam
pemilihan wakil presiden
dan mengalahkan
Hamzah Haz dari PPP.
Gus Dur mempunyai
masa bakti sebagai
presiden dari tahun 1999
sampai 2001
Gus Dur menderita
banyak penyakit, bahkan
sejak ia mulai menjabat
sebagai presiden. Ia
menderita gangguan
penglihatan sehingga
seringkali surat dan buku
yang harus dibaca atau
ditulisnya harus
dibacakan atau
dituliskan oleh orang
lain. Beberapa kali ia
mengalami serangan
strok. Diabetes dan
gangguan ginjal juga
dideritanya. Ia wafat
pada hari Rabu, 30
Desember 2009, di Rumah
Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta,
pada pukul 18.45 akibat
berbagai komplikasi
penyakit tersebut, yang
dideritanya sejak lama.
Sebelum wafat ia harus
menjalani hemodialisis
(cuci darah) rutin.
Menurut Salahuddin
Wahid adiknya, Gus Dur
wafat akibat sumbatan
pada arteri. Seminggu
sebelum dipindahkan ke
Jakarta ia sempat
dirawat di Jombang
seusai mengadakan
perjalanan di Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar