Mantan Presiden Abdurrahman
Wahid secara bercanda pernah
mengatakan bahwa di negeri ini
ada dua polisi yang tidak bisa
disuap, yakni pertama "polisi tidur"
dan kedua Hoegeng. Bukan untuk kalangan polisi saja,
tetapi masyarakat umum pun
dapat belajar dari kisah kehidupan
Jenderal Hoegeng. Sesungguhnya
budaya korupsi itu dapat ditangkal
dengan nilai kejujuran, kerja keras, dan kesederhanaan seperti yang
tecermin dalam tingkah laku
Hoegeng. Hoegeng lahir di
Pekalongan 14 Oktober 1921. Nama pemberian ayahnya adalah
Iman Santoso. Waktu kecil dia
sering dipanggil bugel (gemuk),
lama kelamaan menjadi bugeng,
dan akhirnya berubah jadi hugeng.
Setelah dewasa bahkan sampai tua, dia tetap kurus. Ayahnya
Sukario Hatmodjo pernah menjadi
kepala kejaksaan di Pekalongan;
bertiga dengan Ating
Natadikusumah (kepala polisi) dan
Soeprapto (ketua pengadilan), mereka menjadi trio penegak
hukum yang jujur dan profesional. Ketiga orang inilah yang
memberikan andil bagi
penumbuhan sikap menghormati
hukum bagi Hoegeng kecil.
Bahkan karena kekaguman
kepada Pak Ating-- yang gagah, suka menolong orang, dan banyak
teman--, Hoegeng pun bercita-cita
menjadi polisi. Setelah lulus PTIK
tahun 1952, Hoegeng ditempatkan
di Jawa Timur. Penugasannya yang kedua
sebagai kepala reskrim di Sumut
menjadi batu ujian bagi seorang
polisi karena daerah ini terkenal
dengan penyelundupan. Hoegeng
disambut secara unik, rumah pribadi dan mobil telah disediakan
oleh beberapa cukong perjudian.
Dia menolak dan lebih memilih
tinggal di hotel sebelum dapat
rumah dinas. Masih ngotot, rumah dinas itu
kemudian juga dipenuhi perabot
oleh tukang suap itu. Kesal, dia
mengultimatum agar barang-
barang itu diambil kembali oleh
pemberi dan karena tidak dipenuhi akhirnya perabot itu dikeluarkan
secara paksa oleh Hoegeng dari
rumahnya dan ditaruh di pinggir
jalan. Maka gemparlah Kota Medan
karena ada seorang kepala polisi
yang tidak mempan disogok.
Setelah sukses bertugas di Medan,
Hoegeng kembali ke Jakarta.
Untuk sementara dia dan istri menginap di garasi rumah
mertuanya di Menteng. Kemudian
dia ditugasi sebagai Kepala
Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum diangkat, dia
menutup usaha kembang yang
dijalankan istrinya di Jalan Cikini
karena khawatir orang-orang yang
berurusan dengan imigrasi sengaja
memborong bunga untuk mendapatkan fasilitas tertentu.
Selepas dari sini, atas usul dari
Sultan Hamengku Buwono IX,
Hoegeng diangkat menjadi
Menteri Iuran Negara dalam
Kabinet "Seratus Menteri" Juni 1965. Tahun 1966 dia kembali ke
kepolisian sebagai deputi operasi
dan tahun 1968 menjadi panglima
angkatan kepolisian. Dalam jabatan ini terjadi beberapa
kasus yang menarik perhatian
publik seperti Sum Kuning,
penyelundupan Robby Tjahyadi,
dan tewasnya mahasiswa ITB
Rene Coenrad. Keuletan menuntaskan kasus besar itu
mengakibatkan Hoegeng
diberhentikan oleh Presiden
Soeharto walaupun masa
jabatannya sebetulnya belum
berakhir. Sebelumnya Hoegeng juga
merintis pemakaian helm bagi
pengendara kendaraan bermotor
yang ketika itu menjadi polemik.
Kini terasa bahwa instruksi itu
memang bermanfaat. Hoegeng ditawari jabatan duta besar di
sebuah negara Eropa, tetapi dia
menolak. Alumnus PTIK tahun
1952 ini lebih senang jadi orang
bebas, dia tampil dengan grup
musik Hawaiian Senior di TVRI, satu-satunya saluran televisi masa
itu. Namun musik barat dengan
kalungan bunga itu dianggap
kurang sesuai dengan "kepribadian
nasional" oleh Menteri Penerangan
Ali Moertopo sehingga dia tidak
boleh tampil lagi. Kemudian Hoegeng bergabung dengan
rekan-rekannya yang kritis dalam
Petisi 50. Dia tetap sederhana.
Ketika rapat kelompok ini di rumah
Ali Sadikin, tidak jarang Hoegeng
naik bajaj.*** Apa yang mendorong Hogeng
menjadi tokoh yang bersih dan
antikorupsi? Barangkali
pendiriannya yang ditanamkan
oleh ayahnya bahwa "yang
penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan; jangan
merusak nama baik dengan
perbuatan yang mencemarkan". Ayahnya seorang birokrat yang
sampai akhir hayatnya tidak
sempat punya tanah dan rumah
pribadi. Melihat kondisi sekarang,
relevan untuk merenungkan
pendapat Hoegeng: "Pemerintahan yang bersih harus
dimulai dari atas. Seperti halnya
orang mandi, guyuran air untuk
membersihkan diri selalu dimulai
dari kepala." Terhadap para pemimpin yang kini
saling berebut kekuasaan, tepat
ujaran Hoegeng, "It's nice to be
important, but it's more important
to be nice." Ucapan yang sama
sering pula dilontarkan kemudian oleh penyiar Ebet Kadarusman.
Hoegeng sendiri punya
pengalaman unik dengan Presiden
Soekarno. Suatu kali dia bersama lulusan
PTIK tahun 1952 dipanggil ke
Istana. Ketika ditanya namanya,
Soekarno berkomentar, "Apa tidak
salah itu, kan seharusnya Sugeng.
Mbok diganti Soekarno." Kontan saat itu Hoegeng menjawab,
"Nggak bisa Pak, karena Hoegeng
itu dari orangtua saya, kebetulan
nama pembantu di rumah saya
juga Soekarno." "Kurang ajar kamu," kata Presiden
Soekarno sambil tertawa lepas.
Sikap terbuka dan tidak takut
kepada atasan bila benar itulah
yang dipegang oleh Hogeng
selama bertugas. Namun itulah yang mengakibatkan dia dicopot
dari jabatan kepala kepolisian
tahun 1971 oleh Presiden
Soeharto. Kasus tertembaknya
mahasiswa ITB Rene Conrad tidak
sepenuhnya memuaskan hatinya. Kasus Sum Kuning di Yogya yang
melibatkan putra seorang pejabat/
bangsawan Yogya serta seorang
putra pahlawan revolusi diputuskan
secara berliku-liku. Demikian pula
dengan kasus penyelundupan mobil mewah oleh Robby
Tjahyadi. Hoegeng ingin bertindak
profesional, tetapi hal ini
tampaknya tidak menyenangkan
hati atasannya. Memang kalau kita
ingin hukum tegak di negeri ini,
contoh itu harus dimulai dari presiden. Hoegeng seorang
pekerja keras. Dia adalah
profesional sejati. Dari orangtuanya dia mewarisi
nilai-nilai kebajikan yang tidak
mengagungkan harta atau
kepemilikan. Kejujuran dan
kepedulian sosial itulah yang lebih
utama. Namun Hoegeng bukan hanya seorang yang bersih untuk
dirinya sendiri. Dia juga membersihkan
lingkungannya. Istrinya tidak diberi
kesempatan untuk melakukan
KKN. Anak-anaknya dilarang
memanfaatkan fasilitas jabatan
sang ayah. Di tempat bertugas, dia membersihkan anak buahnya.
Yang tidak jujur dikeluarkan atau
dikontrol sedemikian rupa
sehingga tidak tahan untuk keluar. Di antara rekan-rekan seprofesi
dalam bidang penegakan hukum
Hoegeng mengupayakan forum
untuk mengatasi berbagai
kejahatan, termasuk korupsi. Di
Medan dia berhasil memberantas korupsi dan penyelundupan berkat
kerja sama dengan instansi lain,
termasuk militer.
14 Juli 2004 dini hari, Hoegeng
Iman Santoso telah pergi. Makin
habis orang-orang jujur di negeri ini.(*) Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI.